Pertanyaan: Bagaimana hukum membaca Al-Qur’an dalam kondisi berhadats kecil?
Jawab:
Kondisi membaca Al-Qur’an dapat digolongkan menjadi dua keadaan, pertama dengan tanpa memegang mushaf dan yang kedua dengan memegang mushaf Al-Qur’an.
Membaca Al-Qur’an Tanpa Mushaf
Untuk kondisi pertama ini, yakni seseorang yang membaca Al-Qur’an dalam kondisi berhadats kecil tanpa memegang mushafnya, maka para ulama telah ijma’ (bersepakat) tentang kebolehannya. Hal ini karena tidak ada satupun dalil yang melarang perbuatan ini dilakukan. Namun demikian tetap dianjurkan dan merupakan adab yang baik jika seseorang hendak membaca Al-Qur’an dia berwudhu dahulu dan membersihkan mulutnya. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah: “Hendaknya jika hendak membaca Al-Qur’an dia membersihkan mulutnya dengan siwak dan selainnya.”
Bahkan ada diantara ulama salaf dahulu, jangankan ketika mereka membaca Al-Qur’an, ketika mereka membaca hadits nabawi saja, mereka berwudhu dahulu sebagai penghormatan atas perkataan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Membaca Al-Qur’an dengan Menyentuhnya
Sebelum ke pembahasan, perlu dipertegas dahulu bahwa yang dimaksud mushaf Al-Qur’an adalah bagian halaman yang berisi penuh dengan ayat Al-Qur’an dengan bahasa aslinya. Bukan buku tafsir yang di dalamnya sudah bercampur dengan ucapan manusia, bukan Al-Qur’an terjemahan yang di dalamnya Al-Qur’an sudah dipindahkan dengan bahasa bukan Arab, bukan pula buku-buku agama atau majalah yang di dalamnya terdapat ayat-ayat Al-Qur’an dan selainnya.
Hukumnya
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membaca Al-Qur’an dengan menyentuhnya. Yang dipermasalahkan bukanlah tentang hukum membacanya, tetapi hukum menyentuh mushaf itu sendiri.
Para Ulama yang Mengharamkan
Pada umumnya para ulama berpendapat bahwa hukum menyentuh mushaf Al-Qur’an bagi orang yang berhadats adalah haram. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala: “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali yang suci.” (QS. Al Waqi’ah: 79)
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda: “Tidak ada yang menyentuh mushaf kecuali orang yang bersuci.” (HR. Daruquthni dan Baihaqi: Shahih)
Dalil lainnya adalah larangan baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada para shahabat membawa mushaf Al-Qur’an ke negeri kafir, karena khawatir jatuh ke tangan mereka. Dan kita ketahui bahwa orang-orang kafir itu selalu berhadats.
Ibnu Qudamah bahkan mengklaim tidak ada yang menyelisihi pendapat ini kecuali Daud (Pendiri madzhab ad Dhahiri)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah juga berkata: “Menyentuh Mushaf, yang benar adalah wajib berwudhu sebagaimana pendapat mayoritas ulama. Hal ini telah diketahui dari para sahabat: Sa’ad, Salman, dan Ibnu Umar. Dari ‘Amru bin Hazm, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Janganlah menyentuh Al-Qur’an kecuali yang suci.” Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melarang bepergian membawa Al-Qur’an ke negeri musuh (kafir), khawatir mereka menyentuhnya dengan tangan mereka.”
Bahkan kalangan Hanafiyah berpendapat keharaman ini juga berlaku bagi semua kitab yang mengandung Al-Qur’an semisal kitab tafsir. karena ketika menyentuhnya akan terjadi persentuhan dengan Al-Qur’an. Sedangkan kalangan Syafi’iyah melihat dari sisi sedikit atau banyaknya; jika Al-Qur’annya lebih banyak maka haram menyentuhnya, dan jika tafsirnya lebih banyak maka tidak haram menyentuhnya. Kalangan Hanabilah juga berpendapat serupa dengan Syafi’iyah karena hal itu bukanlah mushaf, namun sama halnya dengan buku-buku fiqih. Sebab jika diharamkan tentu menyimpannya akan membawa kesulitan, padahal kita membutuhkannya.
Pendapat mayoritas ini adalah yang kuat, berdasarkan bahwa Rasulullah juga pernah berkirim surat kepada raja Qaishar yang di dalam isi surat tersebut terdapat tulisan Al-Qur’annya. Dan tidak mungkin Rasulullah memerintahkan raja Qaishar untuk berwudhu terlebih dahulu sebelum membacanya.
Para Ulama yang Membolehkan
Meskipun pendapat yang mengharamkan menyentuh Al-Qur’an dikatakan sebagai pendapat mayoritas ulama, ternyata tidak bisa dinafikan, ada sederetan nama para ulama dan fuqaha (ahli fiqih) yang menolaknya. Kalangan ini berpendapat bahwa menyentuh Al-Qur’an dengan berwudhu ketika membacanya hanyalah sebatas perbuatan yang dianjurkan dan adab kepada Al-Qur’an, sehingga apabila ditinggalkan, tidak sampai menyebabkan pelakunya jatuh kepada keharaman.
Diantara para ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Asy-Sya’bi, Imam Syaukani, Adh-Dhahak, Zaid bin Ali, Muayyid Billah, Daud adz-Dzahiri, Ibnu Hazm, Sayyid Sabiq, bahkan dikatakan bahwa ada beberapa sahabat yang dikatakan memegang pendapat ini diantaranya adalah Ibnu Abbas ra.
Dalil-Dalil yang Digunakan
Golongan kedua ini mengatakan tidak ada satupun dalil yang tegas berisi larangan bagi orang yang berhadats untuk menyentuh mushaf Qur’an. Mereka menganggap dalil-dalil yang digunakan oleh kalangan yang mengharamkan menyentuh mushaf ketika berhadats lemah secara dalalahnya dan mereka nilai terlalu dipaksakan. Berikut penjelasannya.
1. Surat Al-Waqi’ah Ayat 79: “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali yang suci.”
Menurut mereka makna ayat ‘Tidak ada yang menyentuhnya’ tidaklah tepat jika kata ganti (dhamir) ‘nya’ pada kata ‘menyentuhnya’ diartikan menyentuh Al-Qur’an, tetapi yang tepat ‘nya’ di situ adalah kitab Lauh Mahfuzh, hal ini bisa diketahui ketika ayat tersebut digandengkan dengan ayat sebelumnya:
“Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun (orang-orang yang disucikan).” (QS. Al-Waqi’ah: 77-79)
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma menafsirkan ayat : “Tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun, yakni: “Kitab yang ada di langit.”
Al Muthahharun adalah malaikat. Ini juga pendapat para sahabat dan tabi’in kenamaan seperti: Anas, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, Adh-Dhahak, Abu Sya’tsa, Jabir bin Zaid, Abu An Nahik, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, As-Suddi, dan lainnya.
Ibnu Zaid menceritakan bahwa kafir Quraisy menyangka Al-Qur’an diturunkan oleh golongan syetan, padahal tidak ada yang menyentuhnya kecuali al muthahharun. Sebagaimana firmanNya: “Dan Al-Qur’an itu bukanlah dibawa turun oleh syaitan- syaitan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al-Qur’an itu, dan mereka pun tidak akan kuasa. Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan daripada mendengar Al-Qur’an itu.” (QS. Asy-Syu’ara: 210-212). Lalu Imam Ibnu Katsir mengomentari: “Perkataan Ini adalah perkataan yang bagus (jayyid) dan tidak keluar konteksnya dari perkataan-perkataan sebelumnya.”
Sementara dalam Fathul Qadir disebutkan: “Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang yang suci (al muthahharun)’ Al Wahidi berkata: “Kebanyakan Ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Lauh Mahfuzh, jadi artinya tidak ada yang menyentuh Lauh Mahfuzh kecuali al muthahharun, mereka adalah malaikat. Ada yang mengatakan: tidak ada yang menurunkannya kecuali al muthahharun. Dikatakan; tidak ada yang membacanya. Ada yang mengartikan kitabul maknun adalah Al-Qur’an, maka dikatakan (tidak menyentuhnya kecuali al muthahharun) yakni orang yang suci dari hadats dan najis, demikian dikatakan Qatadah dan selainnya. Berkata Al Kalbi: “Orang-orang yang suci dari kesyirikan.” Berkata Rabi’ bin Anas: “Orang yang suci dari dosa dan kesalahan.” Berkata Muhammad bin Al Fadhl dan lainnya: (tidak ada yang menyentuhnya) yaitu tidak ada yang membacanya kecuali al muthahharun, yaitu orang-orang yang bertauhid. Berkata Al Fara’: tidak ada manfaat dan keberkahannya kecuali bagi al muthahharun, yaitu orang-orang beriman. Berkata Al Husein bin Al Fadhl: “Tidak ada yang tahu tafsir dan takwilnya kecuali orang yang disucikan oleh Allah dari syirik dan nifaq.”
Maka berdasarkan penafsiran diatas, kalangan ini menolak ketentuan yang mengatakan bahwa orang yang berhadats diharamkan menyentuh mushaf Al-Qur’an.
2. “Tidaklah Menyentuh Al-Qur’an Kecuali Orang Suci.”
Mereka menyanggahnya, bahwa makna orang suci di sini adalah orang yang suci aqidah dari kekafiran, sebagaimana ayat di atas.
Sebab, seorang yang beriman kepada Allah Ta’ala, baik laki-laki dan perempuan, baik dalam keadaan haid, junub, dan hadats, maka mereka selalu suci sesuai keumuman hadits: Al Mu’min laa yanjus (orang beriman tidaklah najis). Kesucian mereka tidak hilang karena faktor-faktor ini, sebab keimanan mereka kepada Allah Ta’ala jauh lebih tinggi dan berharga dibanding halangan-halangan ini.
Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan: “Karena sesungguhnya ‘orang yang suci’ adalah yang tidak bernajis, dan orang beriman bukanlah najis selamanya, sesuai hadits: Al Mu’min laa yanjus (orang beriman tidaklah najis). Maka, tidak benar mengartikan ‘orang yang suci’ untuk orang yang tidak junub atau tidak haid atau tidak berhadats atau yang terkena zat najis (najis ‘aini), tetapi maknanya adalah untuk orang yang bukan musyrik, sebagaimana firmanNya: “Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.”
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengomentari hadits ini: “Hadits ini menunjukkan bahwa tidak boleh menyentuh mushaf kecuali bagi orang yang keadaan suci. Tetapi, ‘keadaan suci’ merupakan lafaz musytarak (memiliki banyak arti), secara mutlak makna tersebut kepada orang yang suci dari hadats besar, suci dari hadats kecil, dan secara mutlak juga makna suci itu untuk orang beriman, untuk orang yang badannya tidak terdapat najis, dan wajiblah mengembalikan makna tersebut kepada petunjuk makna spesifik. Maka, tidaklah hadits ini menjadi dalil dalam melarang orang berhadats kecil untuk menyentuh mushaf.”
Hal ini sama dengan kenajisan haid, sesungguhnya yang najis adalah darah haid-nya, bukan wanitanya. Sebab, telah banyak riwayat yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap bergurau bahkan mubasyarah (bercumbu) dikala istrinya haid.
3. Larangan Nabi Membawa Mushaf Quran ke Negeri Kafir
Pihak yang membolehkan juga menyanggah pendalilan dengan hadits ini. Larangan ini disebabkan khawatir mereka akan mencela Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, bukan karena menyentuhnya.
Bagi mereka, justru ini menjadi dalil bagi pihak mereka (yang membolehkan menyentuh mushaf Qur’an). Sebab, larangan Nabi sangat jelas, yakni jangan Al-Qur’an dibawa ke negeri kafir. Karena mereka najis aqidahnya. Hal ini sesuai dengan pemahaman bahwa: janganlah menyentuhnya kecuali orang-orang suci yaitu janganlah menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci dari kekafiran, kesyirikan, dan kemunafikan. Larangan ini bukan larangan dibawanya Al-Qur’an ke daerah muslim yang penduduknya sedang junub, haid, dan nifas.
Karena memang dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebut dengan istilah ardhul ‘aduw (negeri musuh), yang berarti ada dua kemungkinan, pertama, mereka dalam keadaan berperang, kedua, bisa juga mereka kaum yang membenci, walau dalam keadaan damai, maka mereka tetap disebut musuh yang sangat mungkin bisa menodai kesucian Al-Qur’an.
Penjelasan ini diperkuat oleh sebuah hadits, dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang bepergian dengan Al-Qur’an ke negeri musuh, khawatir musuh akan mencelanya.” (HR.Muslim)
Maka, tentu tidak bisa disamakan antara penduduk muslimin yang sedang junub, haid, dan nifas, dengan penduduk kaum kafirin.
Kesimpulan
Ulama sepakat tentang kebolehan membaca Al-Qur’an mereka yang berhadats kecil tanpa mushaf. Sedangkan hukum menyentuh mushaf Al-Qur’an dalam kondisi berhadats kecil baik dengan tujuan membaca atau tidak, telah terjadi khilaf dikalangan para ulama. Mayoritas mengharamkan, sedangkan sebagian yang lain membolehkan. Namun, yang membolehkan tetap menganjurkan agar melazimi membaca Al-Qur’an dalam kondisi bersuci, karena itu termasuk adab-adabnya dan sebuah keutamaan.
Wallahu a’lam.
Referensi:
- Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (33/35), Tibyan li imam an Nawawi hal.97, al Majmu’ (2/69).
- Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (38/09), Fathul Qadir, ( 7/137), Al Fiqhul Islami wa adillatuhu, ( 1/ 299 ).
- Majmu’ Fatawa, (21/288)
- Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 16/52), Al Fiqhul Islami wa adillatuhu, ( 1/ 296 ).
- Al Fiqhul Islami wa adillatuhu, ( 1/ 298 ).
- Tafsir Ibnu Katsir, ( 7/544), Al Baidlawi, (4/ 110).
- Fath al Qadir (7/137).
- Nailul Authar, (1/206)
- Fiqhus Sunnah, (1/57)
- Nailul Authar (1/206), al Muhalla (1/8)